Wednesday 3 January 2018

Tantangan Santri Zaman Now

Tags


Zaman telah berubah. Orang berlalu lalang dan bepergian yang dulunya berjalan kaki kini sudah memakai kendaraan. Atau pun orang yang berkomunikasi jarak jauh tidak harus bertemu. Karena sudah ada telepon. Tentunya selain kondisi fisik zaman yang sudah berbeda, tentu teknologi berasal dari pemikiran yang modern juga.

Santri pun demikian. Dari zaman ke zaman harus mampu ikut andil dalam perkembangan zaman. Santri  merupakan penopang bangsa yang perannya tidak dapat dilupakan begitu saja sepanjang perjalanan sejarah bangsa ini. Meskipun dalam buku sekolah tidak tercatat peran santri dulu.

Perkembangan zaman  yang pesat ini tak hanya membawa dampak positif. Banyak sekali hal-hal yang buruk bahkan merusak. Salah satu akibatnya yakni dekadensi moral. Orang perlahan mulai tak peduli akan nilai kemanusiaan. Tanpa berpikir panjang orang dengan mudahnya menciderai  nilai kemanusiaan. Membunuh, menyiksa, melakukan kekarasan, memperkosa serta melakukan kegiatan amoral lainnya.

Hal ini diperparah dengan penguasa yang lalai tugasnya. Tanpa rasa malu mereka merampas hak rakyatnya. Melakukan korupsi besar-besaran tanpa peduli di daerah-daerah rakyatnya menderita. Naasnya, korupsi ini terjadi tidak hanya dikalangan pemerintah pusat saja, akan tetapi sudah mengakar sampai di tingkat pedesaan. Sungguh riskan, mengingat mereka bukanlah orang sembarangan. Bukan orang-orang awam dan jalanan yang tak mengenyam pendidikan tinggi.

Peran santri di era globalisasi

Santri merupakan sebutan bagi orang yang belajar ilmu agama. Dalam percaturan nasional, santri kerap dipandang sebelah mata. Mereka dipandang sebagai kaum kolot. Amat tertinggal akan ilmu pengetahuan. Santri identik dengan tradisional. Hanya sibuk mengurusi urusan agama saja.

Penulis sendiri mempunyai teman yang diremehkan tetangganya karena memutuskan mondok. Tetangganya beranggapan mondok tidak menjanjikan apapun bagi masa depan. Tentu saja anggapan seperti itu tidak benar. Santri tidak hanya mereka yang sibuk di pesantren dengan urusan ilmu agama saja.

Beberapa hari lalu media nasional digemparkan oleh para santri dari pondok pesantren Blitar dan Mojokerto Jawa Timur. Mereka berhasil memenangkan kontes robotik di Jepang. Bukan hanya itu, sebelumnya Malik Khidir santri yang kebetulan kuliah di Fakultas MIPA UGM juga berhasil menjadi juara pertama kejuaran robotik di Amerika Serikat. Masihkah beranggapan santri tidak melek teknologi atau kolot?

Keberhasilan santri berprestasi di atas harusnya menjadi pelecut semangat sekaligus kebanggaan bagi para santri nusantara lainnya. Tetap optimistis menjawab tantangan zaman. Pantang menyerah untuk terus belajar dan belajar. Karena entitas santri sendiri adalah orang yang belajar. Tidak ada kata mantan bagi kata santri

Yang ada sekali santri ia melekat seumur hidup bagi penyandangnya. Indonesia sangat memerlukan peran santri. Dalam sejarah negeri ini, santri mempunyai andil yang amat besar. Menjadi pahlawan yang gigih memerangi penjajah yang mencoba merebut tanah air.

Nabi pernah bersabda, Tholabul ilmi faridhoton ‘ala muslimin wa muslimatin. Mencari ilmu wajib hukumnya bagi orang muslim laki-laki maupun perempuan.

Berdasarkan hadis di atas sudah, saatnya para santri bangkit. Menjadi agent of change (agen perubahan). Tidak hanya belajar ilmu agama saja. Tetapi juga ilmu umum. Ini sesuai hadis nabi. Karena kata 'ilmu tidak diperinci. Bisa saja ilmu agama atau umum. Karena ilmu umum maupun agama sama-sama ilmunya Allah SWT.

Menghadapi  tantangan zaman yang kian  mengglobal. Di semua lini kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, sosial dan budaya. Santri harus mampu menjadi subyek dalam berbagai bidang kehidupan. Mengamalkan ilmu yang ia peroleh dari pesantren. Tidak harus menjadi kiai. Melainkan biasa pejabat, birokrat, insinyur, direktur, pengusaha, dokter, seniman hingga tenaga pendidik bahkan pedagang dan petani serta lainnya.

Santri agen penyelamat ideologi bangsa

Akhir-akhir ini muncul gerakan trans nasional. Mereka membawa ideologi yang tak sesuai dengan realita sosial negeri ini. Tanpa segan atas nama agama mereka melakukan kekerasan.  Mencoba mengubah ideologi yang sudah ada dengan ideologi ekstrim tertentu. Salah satunya islam. Mereka ini tidak hanya merongrong NKRI tapi juga merusak citra islam sendiri.

Melakukan perbuatan radikal demi menegakkan perintah agama. Tak segan-segan membunuh orang yang ideologinya berbeda dengan mereka. Justru ini sangat kontras dengan ajaran islam yang sangat anti dengan kekerasan.  Islam merupakan agama yang ramah. Ia ajaran yang menjadi rahmat bagi alam.

Santri tak bisa menutup mata terhadap realita ini. Santri lahir dari bumi nuasantara. Untuk itu santri harus menghadang gerakan radikalisme teraebut. Melakukan gerakan-gerakan untuk menangkal gerakan radikal. Karena bagi santri Indonesia merupakan rumah bersama. Meskipun bukan negara islam. Ideologi pancasila sudah sejak dulu diterima. Sebab mampu mempersatukan kemajemukan penduduk Indonesia.

Para santri terdahulu sudah menerima Indonesia sebagai negara. Mbah Hasim As'ari  pendiri NU dan ulama lainnya sudah menyepakatinya. Hal ini berarti ada integrasi antara agama dan budaya. Oleh sebab itu sudah kewajiban para santri untuk mengawal dan menjaga NKRI dengan ke-binekaan tunggal ika-nya dari kelompok-kelompok yang menamakan diri mereka islam tapi justru mencoba menghancurkan Indonesia.

Menurut istilah yang populer di NU, al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Artinya, menjaga warisan lama yang baik dan mengambil baru yang lebih baik.

Sesuai dengan ungkapan di atas, islam di Indonesia merupakan islam yang khas. Ia berbeda dengan islam negara manapun termasuk timur tengah. Islam yang tumbuh di negara yang bukan islam. Berdialektika dengan kebudayaan lokal. Yang terdiri dari berbagai agama, suku, ras dan etnis.

Hidup dengan tradisi tradisional. Semua hidup berdampingan di rumah yang bernama Indonesia. Demikian pun santri. Ia yang lahir dari bumi pertiwi tak bisa dipisahkan dengan islam di Indonesia atau islam nusantara. Membawa benih benih islam yang dibawa nabi. Islam rahmatan lil alamin.

Penulis adalah alumnus Pesantren At-Taslim Lasem Rembang dan kini melanjutkan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

Sumber ; Nu Online


EmoticonEmoticon